Lewat tarian, masyarakat Aceh membangun identitas budaya sendiri yang sarat nilai-nilai syariah dan spirit keislaman.
Sudah bukan rahasia lagi apabila berbagai tarian tradisional Aceh sering ditampilkan dalam pertunjukan budaya di tingkat nasional maupun internasional. Tari Rapai Geleng dari Aceh misalnya, dibawakan oleh kelompok kesenian Sekolah Pembangunan Jaya di Pavilion “Remakable Indonesia” untuk memeriahkan pameran dagang “Mustermesse Basel (MUBA) 2013” di Exhibition Centre Basel, Swiss, akhir Februari 2013 lalu. Indonesia menjadi `guest country` dalam penyelenggaraan pameran yang terbesar dan tertua di Swiss itu.
Sebelumnya, tarian Rapai Geleng juga menyemarakkan Festival Internasional Abu Simbel di Aswan, Mesir. Tim kesenian Indonesia yang beranggotakan 13 orang tampil piawai dan disambut hangat oleh penonton di festival internasional yang diikuti sejumlah negara, antara lain Prancis, Amerika Serikat, China dan Turki itu.
Rapai Geleng adalah salah satu tarian dari Aceh yang sering ditampilkan selain tari Saman dan tari Seudati. Rapai Geleng mempertunjukkan keserasian gerak, gelengan kepala, dan bunyi rebana yang ditabuh secara ritmik diiringi syair religi dalam bahasa Aceh. Gerakannya bervariasi dari lambat, cepat, sangat cepat, dan diam tanpa gerak. Konsentrasi penuh merupakan kunci keberhasilan kesenian ini, karena jika ada salah satu pemain yang salah gerak, maka akan mengakibatkan rusaknya permainan. Secara filosofis, Rapai Geleng menggambarkan kehidupan harus dinamis dan harmonis.
Sebelum Islam berkembang di Aceh, kebudayaan di sana dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dari Hindia yang dibawa oleh pedagang melalui jalur laut. Dalam hubungan kesenian, budaya dari India ini kemudian berkembang dalam seni budaya lokal masyarakat Aceh. Karena itulah, banyak kita dapati unsur-unsur kesenian Hindustan dalam tarian Aceh. Baik di segi warna dan corak pakaian, maupun gerakan-gerakan tari. Begitu pula ketika ajaran Islam mulai berkembang, kesenian Aceh pun berkembang sesuai dengan corak yang islami.
Pada dasarnya, tarian Aceh memiliki ciri-ciri sebagai berikut: ditarikan oleh satu jenis kelamin dalam satu regu, pengulangan gerakan serupa yang relatif banyak, durasi penyajian yang panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas dan gerak tubuh terbatas. Secara umum tarian Aceh bisa dikelompokkan berdasarkan asal suku tarian tersebut. Misalnya, tarian Aceh yang berasal dari Suku Gayo seperti tari Saman, Bines, Munalu, Didong, Guel, dan tari Turun Ku Aih Aunen. Sementara, dari Suku Aceh, ada tari Rateb Meuseukat, Seudati, Pho, Ranup Lampuan, Tarket Pukat, Laweut, Likok Pulo, dan tari Ratoh Duek.
Spirit keislaman terlihat jelas dalam berbagai tarian, baik Seudati, Saman, Meuseukat, Ranup Lampuan dan lainnya. Misalnya saja tari Seudati yang diciptakan setelah berdirinya masyarakat Islam Aceh, berfungsi sebagai dakwah dan hiburan. Seudati perpaduan antara seni suara dan seni tari. Seudati juga bernama Saman, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti delapan. Dinamakan saman karena para pemainnya terdiri dari delapan orang yaitu Syekh dan para pembantunya berpakaian seragam. Keunikan tari saman ini terletak pada kekompakan gerakannya yang sangat menakjubkan. Para penari saman dapat bergerak serentak mengikuti irama musik yang harmonis. Gerakan-gerakan teratur itu seolah digerakkan satu tubuh, terus menari dengan kompak, mengikuti dendang lagu yang dinamis.
Tarian juga dipakai dalam berbagai upacara seperti Tari Ranub Lampuan yang biasa dimainkan untuk menyambut tamu terhormat dan pejabat-pejabat yang berkunjung ke Aceh. Tarian ini juga ditampilkan pada acara-acara khusus, seperti pada acara Preh linto, Tueng Dara Baro. Tarian ini dimainkan oleh tujuh orang penari wanita dan diiringi dengan instrumen musik tradisional Seurunee Kalee. Penari memegang Cerana atau Puan yang yang didalamnya berisi sirih (ranub) yang akan diberikan kepada tamu-tamu sebagai tanda kemuliaan bagi tamu-tamunya.
Untuk melestarikan tarian-tarian tradisional Aceh, anak-anak sekolah wajib mempelajarinya. Seperti Tari Likok Pulo yang menjadi salah satu tari wajib bagi murid sekolah di Banda Aceh sebagai mata pelajaran kesenian. Tarian yang dibawakan oleh 12 orang penari pria ini menjadi media pengembangan dakwah Islam di era kesultanan Aceh. Gerak tari Likok Pulo komposisinya dimulai dengan gerakan salam anggukan kepala dan tangan yang diselangi gerakan pinggul. Ritme tarian saling membentang dan seling ke kiri dan ke kanan sambil melantunkan syair-syair pujian kepada Tuhan yang diiringi dengan musik Rapai dan vokalis yang menyanyikan syair Aceh.
Dengan tersedianya tenaga kreatif yang benar-benar memahami dan menggemari kesenian Aceh, didukung adanya pemain-pemain seni tari yang penuh didikasi dan mau belajar dengan sungguh, tarian tradisional Aceh tetap lestari sampai saat ini.