Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 adalah kesempatan penting bagi rakyat untuk memilih langsung siapa pemimpinnya (Presiden dan Wakil Presiden) untuk lima tahun ke depan. Berbagai kalangan civil society berharap dapat muncul beberapa pasangan Capres-Cawapres dari putera-puteri terbaik bangsa. Untuk itu, persyaratan pencapresan sebaiknya dipermudah setidaknya sama dengan Pilpres 2004.
[dropcap]U[/dropcap]ndang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) menyaratkan pencapresan dengan presidential threshold sebesar 20% kursi DPR atau 25% dari suara sah Pemilu Legislatif nasional. Persyaratan ini menyulitkan munculnya Capres-Capres alternatif seperti terjadi pada Pilpres 2009 lalu, di mana Capres hanya bisa muncul tiga pasangan. Berbeda dengan Pilpres 2004 dengan presidential threshold sebesar 4% sehingga memungkinkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Capres dan terpilih.
Kini, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah mulai membahas revisi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres tersebut. Timbul perbedaan pendapat terutama tentang angka ambang batas bagi parpol/koalisi parpol untuk mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Setidaknya berkembang empat opsi.
Opsi pertama pasangan capres-cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu legislatif sebelum pelaksanaan pilpres tanpa melihat hasil perolehan suara atau jumlah kursi DPR yang diraih semua parpol. Opsi ini sejalan dengan keinginan Fraksi Partai Gerindra.
Opsi Kedua, pasangan capres-cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu legislatif yang memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional dalam pemilu legislatif. Opsi ini sejalan dengan usulan Fraksi PPP dan PKS.
Opsi ketiga pasangan capres-cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu legislatif yang meraih paling sedikit 15% dari jumlah total kursi DPR atau memperoleh 20% dari suara sah nasional. Opsi ini sesuai dengan usulan Partai Demokrat dan PAN.
Opsi keempat pasangan capres-cawapres diusulkan oleh parpol/gabungan parpol peserta pemilu legislatif yang memperoleh kursi di DPR paling sedikit 25% dari total jumlah kursi atau meraih 30% suara sah nasional. Opsi ini diusulkan Partai Golkar dan PDIP serta didukung PKB.
Namun usulan opsi ini masih penuh dinamika. Masih terbuka kemungkinan masing-masing partai mengubah usulannya. Contohnya, belakangan Demokrat, PDIP, Golkar dan PAN cenderung menyepakati agar ambang batas pengusungan capres untuk 2014 disamakan saja dengan Pilpres 2009. Alasannya, supaya capres-cawapres jangan terlalu banyak, cukup 2-3 pasangan. Dengan demikian Pilpres bisa berlangsung satu putaran, dan yang lebih penting lagi akan memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie berharap Capres jangan terlalu banyak, untuk mendorong koalisi partai. Menurut Ical, dengan calon yang tidak terlalu banyak akan memudahkan masyarakat menilai dan memilih calon. Dia juga mengatakan dengan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional maka Capres juga akan punya basis dukungan partai yang kuat, sekaligus untuk memperkuat sistem presidensial. Pendapat Ical tersebut sejalan dengan pendapat Akbar Tandjung yang meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar untuk mempertahankan syarat itu jika UU Pilpres direvisi DPR.
Berbeda dengan pandangan Sekjen DPP PPP M Romahurmuziy yang menilai presidential threshold pada Pilpres 2009 sudah tidak ideal. Dia mengusulkan untuk Pilpres 2014 sebaiknya semua parpol yang berhasil lolos ke parlemen (parliament threshold 3,5%) berhak mengusung pasangan kandidat. Menurutnya, kini Indonesia lagi krisis pemimpin, jangan sampai kita kesulitan mendapat figur. “Maka harus memudahkan pencalonan dengan cara menurunkan angka presidential threshold,” katanya.
Ketua Fraksi PKS DPR Hidayat Nur Wahid juga menyatakan, kalau ingin banyak figur alternatif berlaga di Pilpres 2014, presidential threshold idealnya 3,5% saja. “Kalau tidak, ya jangan diubah sehingga tetap 20% dan 25% seperti 2009,” ujarnya.
Partai Hanura berharap persyaratan minimal suara dalam Pemilu untuk mencalonkan presiden dihapuskan. Sebagaimana diungkapkan Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP Partai Hanura, Yuddy Chrisnandi, Hanura akan mengusulkan agar setiap parpol yang telah menang pemilu dan lolos ambang batas parlemen dapat mengajukan calon presiden, sehingga nggak pusing harus koalisi dan lain sebagainya yang hanya sekadar menyuburkan politik uang dan transaksional dengan koalisi-koalisi tersebut.
Sementara itu, sejumlah kader Partai Gerindra mengajukan permohonan uji materi Pasal 9 UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal ini mengatur pencalonan presiden (capres-cawapres) hanya bisa diusung oleh parpol/koalisi parpol yang memiliki 25% suara sah pemilu nasional atau 20% kursi DPR. Sejumlah kader Gerindra menilai ketentuan ini bertentangan dengan konstitusi. Sebab UUD 1945 sama sekali tidak mengatur ambang batas pengusungan kandidat pilpres. Gerindra berpandangan seharusnya semua parpol peserta Pemilu 2014 berhak mengusung pasangan capres-cawapres.
Para pemohon uji materiil tersebut adalah Habiburokhman, Adhe Dwi Kurnia, M. Said Bakhri, Munathsir Mustaman. “Kami adalah WNI yang kebetulan anggota Partai Gerindra dan pendukung Prabowo Subianto untuk menjadi Presiden periode 2014-2019,” kata Habiburokhman. Menurut Habiburokhman, dengan presidential threshold 20 persen, politik Indonesia hanya akan dikuasai oleh pemimpin yang itu-itu saja, dari partai yang itu-itu saja dan bahkan dari keluarga yang itu-itu saja. “Padahal sebagai negara besar dan majemuk, rakyat harus diberi kesempatan untuk memiliki banyak pilihan dalam menentukan pemimpin,” jelasnya.
Kader Partai Gerindra itu menyebut PT 20 persen adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998, di mana pada saat itu gerakan mahasiswa dan rakyat menuntut perubahan politik dalam bentuk diimplementasikannya demokrasi multi partai kerakyatan sebagai koreksi terhadap pemerintahan Orde Baru yang antidemokrasi.
Belakangan, sehubungan dengan uji materi UU Pilpres tersebut, semua parpol anggota Setgab Koalisi (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB) sepakat menunda perdebatan tentang presidential threshold hingga ada putusan MK atas permohonan uji materi tersebut.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR Teguh Juwarno mengungkapkan pembahasan RUU Pilpres di forum rapat setgab telah ada kesepahaman agar masing-masing parpol menahan diri untuk tidak memperdebatkan terlebih dahulu soal besaran presidential threshold agar tidak membuang waktu dan tenaga sampai ada putusan baru dari MK. Hal ini dibenarkan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Golkar di Baleg DPR Taufik Hidayat dan Wakil Sekretaris Fraksi PKS DPR Ecky Awal Mucharam.
Sementara itu, berbagai kalangan civil society berpandangan persyaratan UU Pilpres 2009 sebesar 20% suara parlemen yang terlalu tinggi itu, bisa diturunkan menjadi 3,5% sampai 5%. Menurut Cherry Augusta MA (HMI) dan Frans Aba MA (GMNI), dengan PT 20% suara parlemen, di atas kertas hanya tiga partai besar saja yang bisa mengajukan pasangan capres-cawapres, yaitu Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar.
Pendapat senada dikemukakan mantan Menko Ekuin Rizal Ramli PhD, Ketua DPR Marzuki Alie dan anggota DPR Fraksi PKS Sohibul Iman. Mereka menilai jika ambang batas presidential threshold tetap 20 persen, dan tidak diubah menjadi 3,5 persen, dipastikan tidak akan menemukan calon presiden alternatif pada 2014.
Mereka menyarankan sebaiknya aturan itu dikembalikan pada aturan pilpres 2004 dengan ambang batas 3,5 persen atau maksimal 5 persen, yang memungkinkan banyak calon presiden tampil.
Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan dalam rilisnya Rabu (26/9) menyatakan gagasan menurunkan presidential threshold 3,5 persen tersebut rasional¸ demokratis, sekaligus tidak memberatkan parpol. “Apalagi, UUD 1945 hanya mengamanatkan setiap partai politik atau gabungan partai politik berhak mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden tanpa menyentuh besarnya syarat perolehan suara,” jelasnya.
Menurut Syahganda Nainggolan, adanya kekuatiran dapat menimbulkan banyak calon tentu bukan alasan tepat, kecuali sebatas ketakutan yang dicari-cari. “Sebab, hakikat penerimaan demokrasi harus mencerminkan kesediaan semua kekuatan politik dalam menghadapi ajang pemilihan nasional, baik dengan sedikit maupun banyaknya calon,” ujarnya.
Syahganda mengatakan, penurunan syarat pengajuan capres/cawapres akan mendorong munculnya calon-calon alternatif. Hal itu, katanya, bukan saja mampu mendinamisasi wujud demokrasi di Tanah Air yang lebih heterogen, lantaran calon-calon terbaik dari beragam latarbelakang akan ikut terseleksi serta terdongkrak ke permukaan untuk dinilai terbuka oleh publik.
Di samping itu, kata Syahganda, hal itu dapat merekrut lapisan muda berkualitas untuk meramaikan bursa kepemimpinan nasional sebagai capres ataupun cawapres, demi berlangsungnya proses regenerasi bangsa di masa datang. Jadi, tambahnya, partai-partai besar tidak perlu kebakaran jenggot menolak harapan penurunan presidential threshold karena bila calon yang diusungnya paling baik, pasti juga akan mendapat kemenangan dalam Pilres 2014.