Rokok masih merajalela di Indonesia. Regulasi yang lemah membuat industri rokok berlomba-lomba memproduksi rokok dan menjualnya, termasuk pada anak dan remaja.
[dropcap]D[/dropcap]i negara berkembang seperti Indonesia, rokok masih menjadi masalah besar karena cukainya sangat rendah, sehingga harga rokok pun menjadi sangat terjangkau bahkan bagi keluarga miskin. Tarif cukai rokok untuk tahun 2013 rata-rata mengalami kenaikan 8,5 persen. Kenaikan tarif ini tidak terlalu besar sehingga dampaknya ke harga rokok juga minimal.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan, cukai rokok setahun sekitar Rp 55 triliun, tetapi konsumsi rokok, biaya kesehatan, dan kehilangan nilai ekonomi tenaga kerja produktif akibat rokok dalam setahun mencapai empat kali lipatnya yaitu mencapai Rp 225 triliun per tahun. Peneliti Lembaga Demografi FEUI Abdillah Ahsan menambahkan bahwa sistem cukai rokok di Indonesia terlalu banyak penggolongan yang implikasinya memperlebar gap harga antara yang termahal dan termurah. Kenaikan harga jual eceran minimum pun menjadi tidak berarti. Untuk SKT golongan 3 (rokok kretek buatan tangan), harga sebatang rokok naik dari Rp 234 menjadi Rp 250. Lebih murah dari sebungkus permen.
Menurut Abdillah, cukai rokok adalah salah satu instrumen yang ampuh untuk mengendalikan konsumsi rokok. Cukai rokok yang tinggi diharapkan dapat mencegah masuknya perokok pemula. Tarif cukai rokok yang baru lebih menguntungkan industri besar, karena menurut industri besar kenaikan cukai rokok sangat kecil, dibandingkan golongan lainnya (rokok kretek buatan tangan). Idealnya, cukai rokok harus single (berlaku untuk harga per batang rokok), tinggi dan berlaku untuk semua golongan (baik rokok buatan mesin dan tangan.
Saat ini, harga rokok kretek termurah sekitar 5-6 ribu rupiah per bungkus. Cukai tertinggi sekarang Rp 375, bila dikalikan dua menjadi Rp 700. Jadi paling tidak harga rokok termurah harus di atas Rp 700 per batang. Itu pun tidak boleh dijual satuan, sehingga harga rokok tidak terjangkau untuk anak-anak dan orang miskin.
Survei tahun 2010 pada 2.000 orang perokok menyimpulkan bila harga rokok sebesar 25 ribu per bungkus dapat membuat mereka berhenti merokok. Artinya harga rokok harus dinaikkan 2 hingga 4 kali lipat.
Dengan besaran cukai di atas, saat ini cukai rokok dapat menyumbang puluhan triliun rupiah setiap tahun, dan membuat banyak pihak terlena dan menganggap industri rokok memberi lebih banyak manfaat dibanding mudarat. Padahal rokok telah menyebabkan kematian sekitar 400.000 orang (25.000 orang di antaranya perokok pasif) setiap tahun dan jutaan orang sakit serta menjadi tidak produktif.
Penyebab lain merajalelanya rokok di Indonesia adalah regulasi yang lemah. Industri rokok berlomba-lomba memproduksi rokok dan menjualnya, termasuk pada anak dan remaja. Setiap tahun, sekitar 265 miliar batang rokok diproduksi di Indonesia. Iklan dan promosi rokok sangat masif. Televisi, radio, dan media cetak di Indonesia umumnya juga amat haus akan iklan rokok. Ini belum termasuk media luar ruang yang masih tetap diizinkan oleh PP No 109/2012.
Menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011, jumlah perokok di Indonesia mencapai 61,4 juta penduduk usia 15 tahun ke atas. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah perokok anak yang juga semakin meningkat.
Selain perokok aktif, yang perlu mendapat perhatian adalah orang bukan perokok tapi menghisap asap rokok (atau perokok pasif). Mereka memiliki risiko terkena penyakit yang mematikan sebagaimana perokok aktif. Data GATS 2011 menunjukkan sebanyak 78,4 persen penduduk usia 15 tahun ke atas (atau 133,3 juta orang) terkena asap rokok saat berada di dalam rumah, meskipun bukan perokok.
Data jumlah perokok hanya ada untuk usia 15 tahun ke atas, belum ada yang 15 tahun ke bawah. Kenyataannya, perokok anak di Indonesia jumlahnya semakin banyak. Bahkan ada fenomena baby smoker yang hanya ada di Indonesia. Penyebabnya adalah karena banyaknya bayi dan balita yang mendapatkan contoh buruk dari para orang tua yang terbiasa merokok di dalam rumah. Selain menjadi perokok pasif, si anak akhirnya menganggap merokok adalah perilaku normal yang patut dibanggakan.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, kebiasaan merokok menyebabkan satu dari 10 kematian orang dewasa di dunia dengan lebih dari 4.000 jenis racun pada tiap batang. Daftar penyakit yang dipicu dari kandungan nikotinnya, di antaranya kanker paru-paru, hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah, infertilitas pria dan juga disfungsi ereksi alias impotensi.
Sejauh ini, Indonesia adalah negara peringkat ketiga perokok terbanyak di dunia setelah China dan India. Indonesia merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2003. Ironisnya, Indonesia termasuk negara penyusun aktif konvensi yang sudah ditandai dan diratifikasi oleh 174 negara itu.
Saat ini, Indonesia baru menerapkan beberapa poin dari FCTC, yakni upaya untuk pengurangan dan pembatasan iklan rokok serta membuat area khusus untuk merokok. Beberapa poin dari FCTC yang belum dipenuhi Indonesia yaitu, pemberian peringatan bergambar tentang bahaya rokok pada produk rokok, pembatasan akses anak terhadap rokok dan penjualan rokok secara tertutup.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan Indonesia perlu ikut meratifikasi penuh Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Ia mengaku pihaknya terus mengupayakan ratifikasi FCTC. Kementerian Kesehatan mendesak Kementerian Luar Negeri agar Indonesia segera meratifikasi FCTC.
Menurut Nafsiah, ratifikasi ini penting untuk mengendalikan peredaran rokok di tanah air. Pengendalian rokok adalah upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, mencegah penyakit yang diakibatkan konsumsi tembakau, melindungi hak asasi manusia untuk hidup sehat serta melindungi bangsa dan negara dari kerugian ekonomi yang lebih besar.
Melihat Negara Lain
Cina dengan penduduk terbesar di dunia mencapai lebih dari 1,3 miliar jiwa, produsen sekaligus konsumen rokok terbesar di dunia telah menandatangani FCTC pada November 2003 dan meratifikasinya pada tahun 2005. Perusahaan monopoli, Chinese National Tobacco Corporation (CNTC) ) yang mempekerjakan 10 juta orang, menguasai 98 persen pasar rokok di China dan menghasilkan lebih dari 2,1 triliun batang rokok (2008).
Sekitar sepertiga penduduk dewasa di China adalah perokok. Laki-laki dewasa 53 persen (bandingkan dengan Indonesia yang mencapai 67 persen) dan perempuan 2 persen. Cukai rokok di China sangat rendah sehingga rokok dijual murah sekitar 10-14 ribu rupiah per kemasan. Industri rokok di China berkontribusi 10% dari pendapatan pemerintah pusat.
Sedangkan di India, lebih dari 275 juta perokok di India atau sepertiga penduduk dewasanya mengonsumsi tembakau. Prevalensi laki-laki perokok 48 persen dan perempuan 20 persen. Rokok dilarang diiklankan dan dipromosikan di media massa, media luar ruang, ataupun menjadi sponsor olahraga dan pergelaran musik. India telah meratifikasi FCTC pada 5 Februari 2004.
Produk tembakau yang mendominasi di India adalah semacam rokok lintingan yang dibungkus daun tendu yang dikeringkan, khas India yang disebut bidi. Oleh produsennya, bidi diberi perasa menarik seperti vanila, cokelat, stroberi, atau mangga.
Cukai rokok di India masih rendah sekitar 40 persen dan cukai bidi sekitar 9 persen. Harga bidi di India sangat murah, sekitar Rp 700 per pak berisi 10-12 batang. Harga rokok sekitar Rp 3.600 per pak. Pada tahun 2008, sekitar 98 miliar batang rokok terjual di India. Diperkirakan sekitar satu juta warga India meninggal setiap tahun akibat penyakit yang disebabkan oleh tembakau.
Indonesia perlu belajar pada negara yang tergolong maju dalam regulasi rokok seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Thailand telah meratifikasi FCTC pada 8 November 2004. Thailand mengalami banyak kemajuan dalam mengendalikan konsumsi rokok di negaranya. Ini ditunjukkan dengan prevalensi perokok yang turun dari 70 persen (tahun 1995) dan kini 40 persen.
Kemajuan Thailand ini didukung oleh sejumlah regulasi pemerintahnya yang mendukung pengendalian tembakau. Pada tahun 1992, Thailand menerbitkan dua perundangan yang mengontrol tembakau yaitu UU Pengendalian Produk Tembakau yang mengatur pengemasan, pelabelan, promosi, periklanan, dan sponsorship produk tembakau. Juga UU Perlindungan Kesehatan bagi Nonperokok yang melarang semua kegiatan merokok di tempat publik, tempat kerja, dan transportasi publik.Harga rokok di negara ini cukup mahal, sekitar Rp 50.000 per pak. Ini karena cukai rokok di Thailand sangat tinggi yang dinaikkan bertahap dari 55 persen (1992) hingga 85 persen (2009). NIR