Bantuan Desa Jangan Disunat

Admin
By Admin
5 Min Read

Oleh Ch. Robin Simanullang | SIB 01-10-1988: Bantuan pembangunan desa jangan disunat! Suatu harapan klasik sejak kebijaksanaan bantuan desa itu diberlakukan sebagai salah satu cara membangun desa, merangsang swakarsa/kemandirian pembangunan desa. Tetapi, masih banyak data yang mengungkapkan penyaluran bantuan desa tersebut tidak tepat alamat dan bahkan sering tak utuh jumlahnya.

Maka, Menteri Dalam Negeri Rudini pada pembukaan rapat kerja teknis “Pembangunan Desa dan Persiapan Penyusunan Program Pelita V” yang diikuti para kepala Direktorat Bangdes dan Ketua Bappeda Tingkat I seluruh Indonesia di Kendari, Selasa 27/9/1990, mengingatkan, bantuan pembangunan desa secara cepat waktu, tepat alamat dan utuh jumlahnya sesuai prosedur yang telah ditetapkan.

Bantuan pembangunan desa dimaksudkan untuk merangsang dan mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat. Tetapi dengan tidak utuhnya jumlah bantuan pembangunan desa tersebut, di samping tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran sesuai kebutuhan prioritas desa, maka mungkin malah sebaliknya yang muncul. Bantuan pembangunan desa itu malah merangsang melemahkan dan mematikan otoaktivitas, prakarsa dan swadaya masyarakat desa.

Kegotongroyongan yang sejak lama dimiliki masyarakat desa menjadi tidak muncul. Sebab, mereka tahu bahwa setiap tahun ada bantuan pembangunan desa, tetapi tidak ada bukti nyata di desanya mengenai penggunaan dana Inpres Bangdes itu. Kalau pun ada jumlahnya tidak utuh. Masyarakat desa sudah kritis (sebagai salah satu hasil pembangunan). Maka mereka sudah tahu apakah mereka dibohongi atau dibodohi. Dan, jika mereka dibohongi atau dibodohi, banyak yang memilih diam, dapatkah kita memahami?

Jika masyarakat desa memilih diam, partisipasi yang bagaimana yang bisa diharapakan dari mereka? Barangkali kita perlu mengubah persepsi (terutama persepsi kalangan aparatur) tentang kedudukan rakyat pedesaan dalam proses pembangunan. Jangan menganggap rakyat pedesaan hanya sebagai obyek, melainkan mestinya juga sebagai subyek. Jangan menganggap rakyat pedesaan hanya sebagai sumber tenaga, melainkan juga sumber informasi.

Mereka layak diajak berbicara, mengutarakan aspirasi dan tuntutan kebutuhannya. Informasi rakyat tentu adalah merupakan informasi yang amat penting apalagi itu menyangkut desanya. Bayangkan dari suara hembusan angin saja mereka banyak tahu soal cuaca, bahkan jika angin itu berhembus malam mereka bisa tahu, itu pukul berapa.

“Pendapat masyarakat harus dinilai sebagai wujud partisipasi dalam pembangunan,” kata Mendagri dalam pengarahannya kepada peserta rapat kerja teknis “Pembangunan Desa dan Persiapan Penyusunan Pelita V”. Beliau mengingatkan, “Kita harus senantiasa tanggap terhadap pendapat masyarakat”. Pendapat itu, kata menteri, dapat dijadikan bahan masukan guna meluruskan arah dan menyempurnakan program kerja pembanguan berikutnya.

Persepsi lain yang kiranya perlu diluruskan adalah tentang makna dan fungsi dari kekuasaan. Bila kita ajak para aparat merenungkan hal ini, apa gerangan gambaran yang timbul? Kita mungkin boleh melihat gambaran pemegang kuasa tampil dengan rasa berkuasa yang besar yang mutlak harus dituruti. Persepsi seperti ini harus diubah bahwa kekuasaan juga berarti harus membantu rakyat memecahkan problema pembangunan yang tak dapat mereka pecahkan sendiri, tidak hanya mengatur dan memaksakan kehendak.

Sama halnya dengan kekeliruan yang terlalu sering kita dengar tentang persepsi kekurangsiapan masyarakat menerima dan melaksanakan pembangunan. Masyarakat sering dituduh belum siap menerima pembangunan, mengakibatkan sesuatu proyek gagal atau kurang berhasil. Rakyat menjadi kambing hitam. Opsusdu Maduma di Tapanuli Utara, barangkali relevan sebagai bahan guna mendalami pernyataan ini. Padahal, pembangunan harus juga mempersiapkan kesiapan masyarakat.

Pembangunan tidak hanya menuntut kesiapan masyarakat tetapi juga harus mempersiapkan kesiapan itu. Persepsi ini harus kita kembangbangunkan, untuk menghindari kekeliruan yang sering digunakan menyembunyikan kelemahan dan kesalahan, dengan mengambinghitamkan kekurangsiapan masyarakat.

Dalam hubungannya dengan masalah dana bantuan pembangunan desa, apa yang kita kemukakan di atas adalah merupakan unsur yang perlu diperhatikan agar bantuan pembangunan desa itu dapat memenuhi sasaran.

Dana bantuan pembangunan desa itu adalah suatu alat perangsang membangun kesiapan masyarakat dan kemandirian desa. Alangkah ironis jika dalam kenyataan malah mematikan kemungkinan bangunnya kesiapan, prakarsa, otoaktivitas, kreativitas, dan swakarsa masyarakat desa.

Dalam     GBHN diamanatkan, pembangunan masyarakat pedesaan perlu terus ditingkatkan terutama melalui pengembangan kemampuan sumber daya manusia termasuk penciptaan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat pedesaan. Maka adalah kesalahan fatal jika ada camat atau bupati dan perangkat stafnya yang justru mengeruhkan iklim dan memperlemah prakarsa atau swadaya masyarakat dengan menyunat dana bantuan pembangunan desa dan lain-lain.

Ditulis di Jakarta, Jumat 30 September 1988 dan diterbitkan sebagai Tajuk Rencana Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Medan, Sabtu 1 Oktober 1988. Penulis: Ch. Robin Simanullang.

Share This Article
Leave a Comment