Lindungi Anak dari Kekerasan

Admin
By Admin
6 Min Read

Sungguh ironis, angka pelecehan seksual terhadap anak sepanjang 2012 mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perlindungan terhadap anak di negeri ini pun masih sangat rendah.

Memasuki tahun 2013, kita dikejutkan tragedi kematian RI (11), siswi kelas V SDN 22 Pulo Gebang, Jakarta Timur. RI, anak bungsu dari pasangan Asri dan Sunoto, dilarikan ke Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta dalam kondisi mengenaskan pada 29 Desember 2012. RI tak sadarkan diri, kejang, demam tinggi. Dokter yang memeriksanya kemudian menemukan fakta yang lebih memilukan lagi, kemaluan RI membusuk dan ada belatung. RI pun diketahui meninggal karena infeksi di otaknya. RI yang duduk di kelas 5 SD itu tak sempat bercerita kejahatan apa yang dia alami hingga menderita sedemikian hebat. Bahkan, hingga RI menghembuskan nafas terakhir, Minggu 6 Januari 2013.

Dugaan kekerasan seksual pada RI makin kuat setelah hasil otopsi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan bahwa RI terindikasi virus yang disebabkan hubungan seksual. Setelah memeriksa belasan saksi untuk mencari tahu apa dan siapa yang menyiksa RI sedemikian rupa, pihak kepolisian akhirnya menetapkan bahwa pelaku pemerkosaan adalah ayah RI sendiri.

Kenyataan ini sangatlah memprihatinkan. Apalagi bila merujuk pada data yang dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak yang menunjukkan bahwa kasus bocah RI bukanlah yang pertama. Menurut Komnas Perlindungan Anak, angka pelecehan seksual terhadap anak sepanjang 2012 mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2012, dari 2.637 kasus terdapat 62 persen merupakan kekerasan seksual terhadap anak di mana 82 persen korban dari kejahatan seksual tersebut adalah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Pada 2011 ada 2.509 kasus dengan kasus kekerasan seksual 58 persen kasus. Sementara tahun 2010 ada 2.426 kasus dengan 42 persen kekerasan seksual. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik dan psikis.

Ironisnya, dari kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilaporkan justru pelakunya adalah orang-orang di lingkungan terdekat anak, yaitu orangtua kandung, tiri, kakak, kerabat dari keluarga, paman, guru, sopir, tukang kebun, dan tetangga. Berdasarkan hasil pengaduan kepada Komnas Perlindungan Anak, pemicu kekerasan pada anak di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga, disfungsi keluarga, ekonomi dan pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Yang juga mengejutkan ternyata 62 persen tayangan televisi dan media menyumbang terciptanya perilaku kekerasan.

Berkaca dari data-data dan kasus bocah RI, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyerukan agar kelompok perempuan, pegiat anak dan HAM, serta seluruh kelompok masyarakat melakukan aksi menuntut diubahnya UU guna memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku, pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya dapat dihukum maksimal 15 tahun penjara. Ironisnya, pelaku perkosaan tidak pernah dihukum maksimal. Oleh sebab itu, Arist mendorong supaya hukumannya dibuat minimal 15 tahun dan maksimal seumur hidup. Secara khusus Arist juga meminta jajaran Polri untuk lebih meningkatkan pelayanan dan perlakuan khusus pada korban kasus kekerasan seksual karena ia menilai kinerja polisi dalam menangani kasus seperti ini masih lambat.

Selain itu, sebagai bentuk keprihatinan, Komisi Nasional Perlindungan Anak juga menetapkan 13 Januari 2013 sebagai Hari Darurat Kejahatan Seksual Anak. Gerakan itu merupakan perlawanan sekaligus respons atas kekurangpedulian aparat dalam menangani kasus kekerasan seksual dengan korban anak-anak.

Sementara Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah Anshor mengatakan, KPAI mewacanakan pemberian pengetahuan pada anak mengenai berbagai indikasi yang mengarah pada kekerasan seksual. Hal ini menurut dia, ketika anak akan dilecehkan, mereka bisa melawan. Maria juga mengatakan bahwa selama ini kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak masih dianggap hal yang tabu, terutama dengan pelaku dari keluarga sendiri. Mereka menurut dia, tidak mau melaporkan kepada polisi dan lebih memilih untuk diselesaikan di tingkat keluarga. Maria juga berharap, aparat tanggap terhadap informasi yang ada di masyarakat maupun di media. Dia mengatakan jika sudah diketahui ada tindakan kejahatan terhadap anak, maka seharusnya aparat cepat bertindak.

Sedangkan kriminolog dari Universitas Indonesia Prof Muhammad Mustofa menilai bahwa faktor pendorong terjadinya kejahatan pada anak adalah pelaku selalu berusaha mencari posisi yang lebih unggul dibandingkan korban. Anak-anak menurut dia dalam interaksi sosial memiliki posisi yang subordinat dan lemah sehingga rentan menjadi korban kejahatan.

Dia mengatakan negara tidak pernah mengambil inisiatif melakukan langkah konkret seperti peraturan perundang-undangan yang memberikan peran jelas terhadap agen-agen perlindungan anak, apa saja yang harus dilakukan. Dia mengatakan perlu perencanaan sosial secara komprehensif peran orang tua, sekolah, dan masyarakat yang saling terintegrasi dalam rangka perlindungan terhadap anak.

Dia juga menilai keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak yang ada masih partikularis. Dia menilai undang-undang itu harus dibuat dengan merujuk secara eksplisit dari tiap agen sosialisasi, seperti tugas orang tua dan sekolah apa saja, sehingga isinya tidak normatif.

Share This Article
Leave a Comment